Matematika Berkarya – Resah Bapak
Sore itu, Bapak pulang dengan langkah gontai. Ia duduk di teras rumah sambil memintaku untuk duduk di dekatnya. Aku kira bapak hanya lemas karena menunggu waktu berbuka, namun ternyata itu semua karena resah yang berputar pada isi kepalanya.
“Nak,” panggilnya. “Lebaran kali ini, pun, bapak tidak minta sepucuk maaf darimu.”
Bapak mulai bergumam, sedang aku mendengarkan sambil menatap langit yang mulai berubah warna.
“Bapak tidak minta kamu berucap maaf pada hari lebaran nanti, kali ini juga, bapak yang ingin minta maaf.”
Bapak diam sebentar untuk menarik napas. “Sulit memang memaafkan kesalahan bapak di masa lalu, tapi bapak takut kalau langkahmu ke depan selalu dihantui rasa sesak akibat luka yang bapak torehkan. Bapak yang salah. Rumitnya duniamu, bapak yang susun. Bapak minta maaf.
Lalu, bapak minta supaya kamu tidak pernah pergi. Bapak harap kamu bisa selalu di sini hingga Bapak pergi nanti. Tapi Bapak tahu, kalau kamu sangat ingin berlari. Entah dari rumah ini atau dari Bapak sendiri. Nggak apa-apa, Bapak paham. Tapi, nanti kalau kamu sudah lelah berlari, tolong kembali, ya? Bapak janji akan buatkan singgasana paling megah untuk kamu tempati.
“Nak, egoisnya bapak, tolong jangan ditiru. Tolong berbahagia dengan hal-hal sederhana. Bapak takut kalau sedihmu nggak berujung. Bapak sayang sekali sama kamu, tolong berbahagia, ya? Bapak memang nggak mengerti cara menjadi orang tua yang baik, tapi Bapak selalu minta pada Tuhan agar duniamu bisa lebih tertata ketimbang Bapak yang berantakan luar dalam.”
Bapak berucap panjang padaku yang masih diam menatap langit yang sama.
“Nak, jadi, kali ini, tolong diterima, sepucuk maaf dari Bapak.”
Aku berdehem. “Pak,” panggilku pelan. “Salahnya Bapak sudah saya maafkan sejak lama. Sekarang, Bapak sudah boleh pergi. Tenang berpulang, ya?”
Bapak tersenyum. Detik itu juga, adzan magrib berkumandang. Bayangan bapak lenyap seketika. Pesannya telah tersampaikan. Kali ini, resahnya telah rampung.