Matematika Berkarya

Matematik Berkarya – Surat Untukku

Surat Untukku
Karya: Anjar Dwi Hariadi

 

Hari ini terasa seperti biasanya, rasa lelah bekerja seharian ditambah lagi dengan perutku yang mulai keroncongan seolah mendorongku untuk segera pulang ke rumah saja. Otakku yang mulai merasakan pening pun setuju dengan itu. “Kerja bagus, sampai berjumpa besok Ren!” kata seorang kawanku di kantor sembari dia pergi pulang. Segera aku juga pun pergi ke tempat biasanya dimana aku bisa menemukan bus yang akan membawaku pulang, yah dimana lagi kalau bukan halte.

Begitu digin sekarang, aku terus berjalan sambil sesekali mulutku mendesah kedinginan, untungnya lumayan dekat, sekitar 15 menit berjalan kaki menyusuri jalanan Tokyo sampai ke halte itu. Sesampainya disana akupun duduk pada tempat duduk yang terlihat ramai itu, “hmmh…” ku menghela napas sembari membaringkan pundakku pada kursi. Seberti biasa, melamun di tempat itu merenungi kejadian seharian ini adalah hobiku, apalagi hari ini luar biasa, sebab gajianku baru saja kuambil. Senang rasanya, selanjutnya kumulai membayangkan wajah istriku di rumah, hah dia pasti sedang memasak makan malam sekarang, seperti apa ya rasanya, hehe… pasti sedap seperti biasanya kan ya? Tak sabar juga rasanya ketika membuka pintu dan melihat kihoko, anakku yang selalu menunggu dibaliknya.

Tak sampai lama lamunanku, tiba-tiba aku dikagetkan dengan panggilan seseorang. “Hei… Ren? Kaukah itu?”, “eehh…?” karena masih bercampur kaget, aku masih belum begitu ingat siapa dia. Sekian detik kupandang wajahnya, aaah, akhirnya kuingat juga, “Yusuke ya? Hei tak kusangka kita bertemu disini.” Dia adalah kawan masa SMP ku, kita hilang kontak sejak kita berdua naik ke bangku SMA ke sekolah yang berbeda. Tentu rasa senang itu tak mampu kami bendung, namun belum sempat berbincang lebih lanjut bus kami pun datang, kami memutuskan meneruskan pembicaraan di bus sebab tujuan kami pun kebetulan sama.

“Jadi, bagaimana kau sekarang?” Tanyaku.

“Yah beginilah aku sekarang, syukurlah aku mendapatkan pekerjaan yang layak disini”

Dia mulai menjelasakan banyak hal, dimana dia bekerja dan sebagai apa, sampai keluarganya kini,

“Kau sendiri bagaimana?”

“Syukulah, akupun mendapat pekerjaan yang layak di sini, di sebuah kantor di pusat Tokyo sebagai data scientist, akupun sudah mempunyai keluarga kecilku sendiri, aku punya seorang anak berumur lima tahun, dia sangat lucu loh, hehe…” jawabku sambil tersenyum malu-malu.

“Heh?… Keren kawan, sepertinya kau sudah bisa menjawab isi surat itu dengan senyuman bukan?”

“Surat? Surat apa?”

Dia bertanya seuatu hal yang asing bagiku, atau aku yang melupakannya, jangan-jangan dia pernah mengirimiku surat dan aku melupakannya… oh tidak…

“Apa aku melupkan surat darimu?” Tanyaku memastikan,

“Surat? Surat apa?” Jawabnya yang malah membuatku bingung

“Heh kok? Habis itu surat apa?”

“Suratmu sendiri lah?”

“Suratku? Buat siapa? Siapa yang harusnya menjawab surat itu?”

“Surat untukmu itu lah… Heh dasar kau pikun, masa seorang data scientis sepertimu melupakan hal seberharga itu, segera kau ingat, jangan bikin aku kecewa loh”

Makin rumit pembicaraan ini di kepalaku, bus pun sudah berhenti, kamipun turun dan mengucap salam untuk berpisah jalan pulang. Jujur saja aku masih belum begitu mengingat surat apa itu, suratku? Untukku? Harus kujawab? Apa maksudnya?

Aku terus memikirkannya sepanjang jalan pulang, sampai tanpa kusadari telah sampai di depan rumah. “Aku pulang,” kejadian berikutnya pun sama seperti lamunanku di halte, kiyoko menyapaku di balik pintu dengan senyumannya yang manis, “yeay… ayah pulang” ucapnya dengan gembira, lalu istriku menyapaku dari dapur.

“Ayah, bagaimana masa kecil ayah?”, kiyoko adalah anak yang polos, setiap hari sepulangku bekerja dia selalu menanyakan hal-hal aneh seperti ini, tapi apapun itu secapek apapun aku, kucoba membalasnya, “Luar biasa… bagaimana menurutmu? Apa kau bisa menebak masa lalu ayah sekarang sedang apa?” kataku.

“Mungkin dia sedang memikirkan ayah… ahahaa,” jawabnya yang polos, namun jangankan ikut tertawa, tiba-tiba ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di benakku, mataku mulai berbinar.

“Kiyoko, temenin ayah ke kamar yuk!”

Kita pun pergi ke kamar, dengan tergesa-gesa kucari kardus yang telah sangat-sangat lama tak kubuka itu, lelahku seolah tak berarti lagi sekarang.

“Ketemu!” Setelah kucari beberapa lama.

Dengan haru kubuka kardus yang telah sangat usang itu, kulihat kertas itu masih disana, itu adalah surat yang kutulis sejak SMP dulu, niatku ingin menuliskannya sendirian, namun dasar Yusuke yang selalu tau dimana tempatku, dia memergokiku tengah menangis sembari menulis di sebuah kertas.

Sembari kiyoko yang ikut melihatnya disampingku, aku mulai membukanya dengan tangan gemetar.

 

Untukmu, diriku di masa depan

Apa kabar?

Apa yang tengah kau lakukan kini?

Apakah kau baik-baik saja?

Adakah sudah orang yang berharga bagimu?

 

Kau berkata kau pernah bermimpi

Adakah engkau sudah terbangun?

Adakah ujung jalan itu sudah kau gapai?

Adakah sudah kau lihat mentari yang kau impikan itu?

Ataukah engkau masih berjuang dengan kakimu yang mulai lelah?

 

Kau berkata kau ingin melukiskan masa depan,
Kau di sana bukan?

Adakah engkau tersenyum melihat lukisanmu?

Dengan mata jernih seperti saat itu,
Adakah air matamu jatuh sembari memeluk kenangan itu?

 

Malam yang dingin dan pagi yang hujan pasti akan berlalu, iya kan?

Akupun berharap kau tengah bahagia di sana,

Sembari berjalan dan menggapai tangan lembut yang dingin itu,

Aku menanti untuk dapat melihat apa yang tengah engkau lihat,

Berjanjilah padaku kau tak akan menungguku,

Dan teruslah berjalan, Menapaki jalan yang telah kita pilih itu

 

Jika kau lelah, maka ingatlah aku yang kini tengah berjalan menggapaimu,

Aku yakin, kau akan tersenyum sambil menangis lagi bukan?

Karena itu jugalah yang tengah ku lakukan sekarang,

Saat aku menuliskan surat ini,

Akupun mulai melukismu dalam anganku

 

Untukmu, sang pejuang keras kepala yang selalu kedinginan,

Untukmu, sang pemimpi yang terus melukis dalam ruang kesepian,

Jaga dirimu baik-baik.

 

Rasa haru ini tak bisa kubendung lagi, aku tak bisa mengucap apa-apa lagi,

“Kau benar nak… Dia sedang memikirkanku sekarang”

Ucapku pada kiyoko sambil kurangkul pundaknya.

Terima kasih, diriku di masa lalu, terima kasih atas pejuanganmu, aku disini baik-baik saja. Disana, kau jagalah dirimu juga, kutahu kau lelah berjalan, kutahu kau kedinginan, kutahu kau kesepian, kutahu kau terkadang sakit merasakannya.

Namun percayalah, suatu saat nanti kau akan melihatku, kau akan membaca kembali suratmu itu, dan kau tau… kau benar, kau akan menangis saat kau membacanya kembali, kau akan bahagia.

Terima kasih, anak keras kepala.

 

Trenggalek, 28 April 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top