Matematika Berkarya – Secarik Kertas Harapan
Secarik Kertas Harapan
Karya: Mei
Petang itu, sebuah surat berpulang padaku. Surat lusuh yang terlipat rapi pada selipan buku novel favorit milik kekasihku, Arjuna Dirgantara. Aku meminjam novel lama Arjuna karena penasaran dengan isi kepala lelaki berusia dua puluh tahun itu. Aku berharap bisa menemukan petunjuk tentang Arjuna, namun yang kutemukan malah sebuah surat lusuh yang menguning. Surat itu ditulis rapi dengan tinta pulpen yang hampir memudar.
“Kepada puan yang mencintainya setelahku,”
Begitu tulisan di awal surat yang kubuka diam-diam. Surat ini tidak ditujukan pada kekasihku, melainkan padaku? Napasku sedikit tercekat, tapi tetap berusaha membaca hingga akhir.
“Kalau sedang gundah, biasanya ia akan menghisap rokok diam-diam di depan rumah. Kalau kau menemukannya dalam keadaan seperti itu, tak perlu kau marahi, ya? Cukup kau beri nasihat kecil dan dengarkan ia bercerita.
Kalau sedang marah, ia sering memacu motornya di jalanan sunyi tengah malam dengan kecepatan tinggi. Tolong cegah ia sebelum celaka. Aku tak mau mendapat kabar ia terluka lagi.
Dia pandai berbicara tentang banyak hal. Ada banyak penghiburan yang ia siapkan bagimu di penghujung hari. Suaranya akan menemanimu hari-harimu yang sebelumnya
kelabu. Mendengar suara tawanya saja, mampu membuatmu ikut tersenyum sepanjang hari.
Dia takut gelap. Mungkin ini sedikit lucu mengingat tubuh tingginya yang tegap dan terlihat pemberani. Tapi ketahuilah, ia tidak pernah takut terluka untuk menolong orang-orang di sekitarnya yang memerlukan bantuan.
Dia pendengar yang setia dan pemberi saran yang baik. Dia akan mendengarkan setiap celotehmu yang tak teratur dan berantakan tanpa keluh. Bahkan ia akan tersenyum sambilmemberimu penyemangat.
Dia tidak mudah dijangkau. Akan ada saatnya kamu membutuhkannya, tapi malah merasa ditinggalkan. Percayalah, ia bukannya tak peduli. Ia sedang sibuk membangun mimpi-mimpi karena merasa dirinya yang saat ini tidak menjanjikan apa-apa di masa nanti.
Dia seseorang yang menggenggam kenangan. Baginya masa lalu bukan untuk dilupakan, melainkan disimpan pada bilik-bilik kenangan untuk dijadikan pembelajaran.
Kalau sedang susah tidur, ia akan menghubungimu dan memintamu menceritakan sebuah dongeng pengantar tidur. Kadang ia juga akan menggumamkan lagu-lagu barat yang jarang kamu dengar sebelumnya. Nikmati saja suara merdunya sebisamu.
Oh iya, selain kamu, dia paling suka fajar pagi hari. Unik, ya? Ia rela bangun di pagi buta demi memotret lembayung jingga sembari tersenyum tulus. Katanya, sinar fajar memberi harapan baginya untuk menjalani hari. Kamu tak perlu cemburu, soalnya, aku yakin, ketimbang pemandangan langit manapun, dia jauh lebih cinta kamu.
Intinya jaga hatinya sebisa mungkin. Jangan diberi luka dan duka. Bebannya sudah berat, jangan ditambah derita. Menyakitinya adalah suatu hal bodoh. Kehilangan dirinya
adalah penderitaan paling berat. Kamu akan sadar ketika ia telah merentangkan jaraknya. Semua kenangan akan menghantammu bertubi-tubi, menamparmu yang tak lagi mampu bersamanya.
Berjuanglah bersamanya, berbahagialah bersamanya. Buktikan pada dunia bahwa kalian layak bersanding di bawah ambara semesta.
Sekian, berbahagialah.
Dari puan yang pernah jadi cintanya.”
Surat itu berakhir tanpa menuliskan nama sang pengirim. Dadaku panas bercampur cemburu ketika selesai membacanya. Ya, aku cemburu karena sang penulis yang lebih
memahami kekasihku ketimbang diriku ini.
“Sedang apa?” Arjuna, kekasihku, tiba-tiba hadir dan duduk di sampingku. Atensinya tertuju pada surat di tanganku. “Ah, sudah kamu baca.”
Aku menyelipkan lagi surat itu pada novel kesukaan Arjuna dan mengembalikannya. “Dari siapa?”
Arjuna tersenyum. “Dari perempuan yang saya cintai sampai hari ini.” Aku makin panas dibuatnya.
“Aku cemburu, soalnya dia lebih tahu kamu daripada aku.” Aku mengeluh kesal,
sedang Arjuna tertawa geli.
“Mau saya ceritakan tentang si penulis?” Arjuna menawarkan.
Aku hendak menolak, tapi rasa penasaranku mengalahkan egoku.
Sebelum bercerita, Arjuna mengambil kertas lusuh tadi dan mengusap perlahan.
“Penulisnya adalah perempuan yang saya cintai dari awal sampai akhir. Orang yang paling mengerti saya luar dalamnya.” Arjuna berhenti sesaat. “Perempuan itu, ibu saya yang sudahberpulang belasan tahun lalu.”
—-
top rated online pharmacy