Matematika Berkarya-Dulu

Matematika Berkarya – Dulu

Dulu

Karya: J. H. Dawenan

 

Masih tidak terlupakan. Betapa senangnya diriku saat mengetahui kalau aku diterima di SMA yang sama dengan Zein. Tidak hanya itu, aku bahkan sekelas dengannya.

Aku tidak bisa menyebut dia sebagai temanku, karena kurasa hubungan kami sudah lebih dari itu. Tapi dia juga bukan pacarku, yang jelas kami berdua sangat dekat. Zein adalah anak laki-laki yang menjadi tetanggaku sejak kecil hingga saat ini.

Dulu dia hanyalah anak yang cengeng. Ketika perjalan karyawisata yang diadakan TK kami dulu, Zein akan selalu menangis kalau aku tidak menggandeng tangannya. Tetapi, saat kami hendak melihat papan pengumuman kelulusan ujian masuk SMA yang terhalangi kerumunan. Zein menarik tanganku agar kami dapat melihat lebih dekat, aku bisa merasakan bagaimana telapak tangannya yang bertambah lebar.

Dulu dia lebih pendek dariku. Masih sangat jelas di ingatanku, ketika layangannya tersangkut di pohon mangga milik Pak Waluyo, akulah yang bersuaha berjinjit untuk mengambilkan layangan itu. Tapi sekarang, aku harus sedikit mendongakan kepalaku jika ingin menatap kedua matanya.

Zein, aku menyukaimu. Entah, apakah hari dimana aku mengungkapkan kata-kata itu akan datang atau tidak. Tapi yang jelas, aku telah memiliki perasaan ini jauh sebelum diriku sendiri menyadarinya.

Mungkin sejak aku mengeluh tidak mendapatkan es krim karena telah kehabisan diborong teman-teman yang lain, kemudian Zein yang telah membeli es krim itu lebih dulu memberikan miliknya padaku.

Mungkin sejak dia marah karena nilai ujianku yang anjlok dan dia khawatir kalau aku tidak bisa lulus, sehingga dia membantuku belajar seminggu penuh.

Atau mungkin, sejak dia menjadi ketua di kelas baru kami, lalu menunjukku sebagai seksi kebersihan dengan alasan “Aku telah mengenal Friska dan aku tahu ini cocok untuknya” entah kenapa aku dengan senang hati menerimanya begitu saja.

Padahal akulah yang selalu dekat dengannya dan mengalami semua itu bersamanya. Tapi entah kenapa aku merasa terjauhkan saat teman-temannya datang mengerumuni.

Akulah yang dulu menenangkan dia saat menangis. Tapi entah kenapa aku sangat gemas jika senyuman yang dia berikan ke orang lain tidak ditunjukkan juga padaku.

Akulah yang sejak dulu memperhatikannya. Tapi entah kenapa aku kesulitan sekali untuk menatapnya apabila kedua mata kami berpapasan.

Aku tahu, aku baru saja mengatakan kalau hubungan kami ini sangat dekat. Namun semenjak Zein ditunjuk untuk menjadi peserta lomba 4 pilar kebangsaan, kami berdua semakin jarang berinteraksi. Dia Bersama timnya baru saja lolos ke tingkat provinsi. Jika bisa memenangkan lomba kali ini, mereka akan masuk ke tingkat nasional.

Berbeda dengan aku yang hanyalah anggota PMR sekolah. Kegiatan rutin kami cuma berdiri di belakang siswa-siswi saat upaca bendera, bersiaga jika ada yang jatuh pingsan atau seseorang datang dan mengatakan “Kak, kepalaku pusing.”  Event besar seperti seminar, bakti sosial, atau donor darah sudah jarang dilakukan karena sudah memasuki penghujung akhir semester genap, dimana para senior harus mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan.

Aku tidak tahu siapa yang telah berubah diantara kami berdua. Apakah Zein, anak laki-laki yang selalu membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman? Ataukah aku, yang selama ini hanya melihatnya dari kejauhan?

Padahal dulu, Zein yang selalu meminta bergandengan. Tapi sekarang dia sama sekali tidak berada dalam jangkaunku.

Di dalam kelas dengan sinar matahari sore yang menembus jendela. Seorang guru sedang menyampaikan materi di depan papan tulis. Rasa lelah tidak nampak pada wajahnya. Berkebalikan dengan kami, aku bisa melihat beberapa siswa sedang berusaha menahan kantuk, malahan di bagian pojok belakang terdapat siswa yang sedang tertidur pulas dengan dahinya yang tertempel pada permukaan meja. Sekolah dari pagi sampai sore memang melelahkan.

“Hei, Friska.” Suara seorang gadis memanggilku.

Dia adalah Bella, teman sebangkuku yang juga merupakan teman perempuan pertamaku di kelas ini. Aku bisa langsung akrab dengannya begitu kami dipasangkan oleh Wali Kelas kami.

Aku pun menoleh padanya, kemudian dia berkata. “Kelas rasanya berubah sekali ya kalau tidak ada Zeinal.”

Mendengar itu, kuhembuskan napasku. “Kamu terlalu berlebihan”

Aku tahu kalau semua anak di kelas merasa nyaman dengan Zein. Meski begitu, kurasa dia tetap tidak akan bisa mengembalikan semangat siswa-siswi yang telah kelelahan ini. Tapi jika benar Zein punya kekuatan semacam itu, kurasa dia memang luar biasa.

“Eh? Benarkah?” Bella tertawa mendengar apa yang aku katakan.

Sebagaimana aku akrab dengan Zein, Bella juga mudah akrab dengannya. Bahkan, tidak jarang kami bertiga berkumpul bersama. Namun, sebagaimana aku yang sekarang sudah hampir tidak pernah berbicara dengan Zein, Bella juga seperti itu. Akan bohong rasanya, jika aku berkata tidak merindukan kami bertiga bisa berkumpul bersama kembali.

Hari ini Zein tidak masuk sekolah karena sakit. Bagaimana aku bisa tahu? Karena Ibunya pagi tadi datang menitipkan surat permohonan izinnya padaku dan meminta tolong agar aku memberikannya kepada wali kelas kami.

Tanpa kusadari ternyata bel tanda berakhirnya pelajaran telah berdering. Setelah para murid memberi salam kepada guru di depan, satu-persatu dari kami berjalan melewati pintu.

“Friska, tunggu sebentar.” Seseorang memanggilku ketika aku tinggal beberapa langkah lagi untuk keluar dari kelas.

Aku bisa mengenali siapa yang memanggilku hanya dengan mendengar suaranya saja, sehingga aku pun menoleh. “Ya, Bu?”

Ibu Guru itu datang menghampiriku dan menjulurkan sesuatu yang ada pada tangannya. “Bisa kamu berikan ini pada Zeinal? Kamu tinggal di dekat rumahnya, ‘kan?”

Kulihat yang sedang dipegang Ibu Guru adalah amplop putih yang mungkin bersisi surat atau semacamanya. Tunggu dulu. Surat? Apa itu surat balasan untuk Zein? Sekolah bisa melakukan itu?

“Ini formulir dan surat dispensasi untuk Zeinal sebagai partisipan 4 pilar kebangsaan.” Itulah yang dikatakan Ibu Guru ketika aku sedang sibuk berdebat dalam pikiranku.

Lagipula, mengapa aku tadi memikirkan itu?

“Baik, Bu. Akan saya berikan pada Zein.”

Aku mengambil amplop yang ada di tangan beliau. Kemudian Kami berdua beranjak dari kelas bersama-sama dan berpisah di depan pintu ruang guru.

Di sore yang udaranya semakin terasa lembab, serta sinar matahari yang semakin berwarna oranye. Sebenarnya aku sangat ingin menikmati suasana ini bersama Bella. Tapi dia harus latihan basket hampir setiap hari setelah pulang sekolah.

Ya, Bella bergabung dengan klub basket putri sekolah. Dia sangat mahir dalam memainkan bola berkulit keras itu, aku bisa tahu hanya dengan bagaimana dia melawan para anak laki-laki saat jam olahraga. Bahkan, pernah terdengar kabar yang sudah tidak asing lagi di telinga murid-murid, kalau Bella akan menjadi kapten klub basket putri selanjutnya. Omong-omong, mungkin karena kecintaanya terhadap basket sebegitu besarnyalah yang membuat kulitnya menjadi berwarna seperti sawo matang.

Kalau dipikir-pikir lagi, ternyata aku dikelilingi oleh orang-orang yang hebat. Mereka seperti sudah mengetahui apa yang harus mereka lakukan kedepannya. Jika dibandingkan dengan Zein dan Bella, aku sama sekali tidak ada apa-apanya.

Ketika aku semakin tenggelam dalam pikiranku, disaat itulah aku telah sampai di depan rumah Zein. Memang tadi aku mengatakan kalau akan memberikan surat ini kepadanya. Tapi aku baru menyadari sudah lama sekali tidak datang kemari.

Padahal rumah kami sangat dekat, cukup berjalan kaki beberapa detik saja sudah bisa mengetuk pintunya. Tapi entah kenapa sekarang rasanya terdapat jarak yang membuatku berat sekali untuk ke sana.

Bagaimana caraku memberikannya? Karena Zein sedang sakit, mungkin kutitipkan saja ke Ibunya? Atau mungkin aku masukkan saja lewat celah bawah pintu? Tunggu! yang tadi itu sangat tidak sopan. Jangan lakukan itu! Pokoknya setelah kuberikan, aku langsung pulang. Ya, seperti itu lebih bagus.

Pintu yang berada dihapanku hendak kuketuk. Namun, tiba-tiba gagangnya bergerak ke bawah dan seseorang menarik pintu itu dari dalam.

“Wah, Friska. Sudah lama sekali kamu sore-sore tidak ke sini.” Itulah yang dikatakan Ibu Zein dengan ekspresi terkejut saat melihatku.

Jangan tanya aku juga terkejut atau tidak! Aku sangat yakin belum mengetuk pintu, tapi seseorang sudah membukanya begitu saja. Kebetulan macam apa ini?

“Iya, Bi. Aku…”

“Ayo, masuk dulu.” Sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, Ibu Zein sudah langsung mempersilakanku masuk begitu saja.

“T-Tidak perlu, Bi. Aku ke sini cuma…”

“Sudahlah. Masuk saja dulu.”

Lagi-lagi Ibu Zein memotong perkataanku. Namun, kali ini sambil merangkulku dan membawaku masuk ke dalam.

Setelah mendudukkanku di sofa ruang tamu, Ibu Zein menepuk kedua tangannya dan berkata. “Kamu kan sudah sering datang ke sini, kenapa masih kaku begitu?”

“Ah-haha.” Aku hanya tertawa canggung melihat Ibu Zein yang matanya sedang berbinar-binar itu.

“Pasti ada perlu dengan Zein,’kan? Tunggu sebentar, ya.” Setelah mengatakan itu, Ibu Zein meninggalkanku di ruang tamu.

Ibu Zein yang selalu penuh semangat, rasanya sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Senyuman ceria itu tidak pernah membuatku bosan setiap kali aku datang ke rumah ini. Benar-benar jadi rindu. Mengingat semua itu membuatku tersenyum sambil menghembuskan napas nostalgia.

Kusiapkan surat yang diberikan Bu Guru tadi. Agar setelah Zein menerimanya, aku akan langsung pergi. Mengingat dia yang saat ini sedang sakit, sebaiknya aku tidak terlalu mengganggunya. Ya, seperti itu lebih bagus.

“Hei.” Terdengar suara anak laki-laki yang sangat familiar.

Aku pun menoleh, dan terlihat Zein memakai kaos putih oversize dengan celana training panjang berwarna hitam. Pada bagian kening wajahnya yang pucat itu menempel sebuah kompres, serta rambutnya terlihat acak-acakan tak tersisir. Mungkin karena suhu yang berbeda, sehingga selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya hanya menutupi pundak ke bawah, kini Zein menariknya hingga kepala.

Sepertinya akulah satu-satunya murid dari kelasku yang bisa melihat Zein dalam kondisi seperti ini. Karena jika di sekolah, yang akan kamu temukan hanyalah Zein yang berseragam rapi dengan rambut klimisnya.

“Um… h-hai.” Ah, gawat. Bertemu Zein ternyata benar-benar membuatku menjadi gugup.

Dia berjalan kemari, kemudian duduk di sofa yang berada tepat di hadapanku. Tanpa menunggunya berkata apapun, aku langsung menjulurkan surat yang sudah sejak tadi kupegang.

“Ini surat dispensasi dan formulirmu.”

“Terima kasih.” Suaranya terdengar lebih lemah dari biasanya, seakan tidak memiliki tenaga yang tersisa.

Zein mengambil surat itu. Kemudian hendak membuka amplopnya, namun karena tersegel dia mengurungkan niat itu. Mungkin karena tidak ingin merusak amplopnya.

Aku memang berpikiran langsung pulang setelah memberikan surat itu padanya. Tapi tiba-tiba aku ingin melakukan sesuatu sedikit di luar rencana yang telah kubuat dan kurasa ini bukan masalah.

Kubuka resleting tas, kemudian mengambil buku-buku catatan dan meletakkannya di atas meja. Rasa gugup dalam diriku yang tak kunjung hilang membuatku tidak mampu menatap Zein, sehingga aku memalingkan wajahku darinya.

“I-Ini buku catatanku. Kalau sudah selesai disalin langsung kembalikan, ya.”

Mungkin tidak begitu jelas, karena cuma meliriknya dari ekor mataku. Tapi aku sangat yakin Zein sedang tersenyum.

“Terima kasih.” Dia sedikit tertawa saat mengatakan itu.

Kedua matanya memandang tumpukan buku yang kuletakan di atas meja. Kemudian kembali menoleh padaku.

“Apa ada tugas ?”

“Iya. Tenang saja, sudah kutulis semua tugas yang diberikan hari ini di sana.” Jawabku, dengan keadaan yang masih tidak menatapnya.

Zein kembali membuka mulutnya. “Kalau kau sudah mengerjakannya, boleh kusalin juga,’kan?”

Pertanyaan Zein itu membuatku menoleh padanya dengan spontan. “Kerjakan sendiri, sana!”

“Hahaha.”

Tawa Zein yang tak bisa ditahan itu, benar-benar mengingatkan aku bagaimana dirinya saat masih kecil. Meskipun sekarang dia lebih tinggi dariku, pundaknya juga terlihat semakin lebar, dan suaranya yang telah terdengar lebih berat. Tapi senyuman Zein tidak pernah berubah.

Ah! Apa yang sebenarnya kulakukan di sini? Bukankah seharusnya aku langsung pulang setelah memberikan surat yang dititipkan Bu Guru tadi? Ya ampun, aku harus lebih konsisten dengan apa yang telah kurencanakan.

Aku pun berdiri dan bersiap menemui Ibu Zein untuk pamit dan segera kembali ke rumahku.

“Hei, Friska.”

Suara Zein membuatku menoleh lagi padanya. Aku menghela napas cukup panjang karena kegugupanku yang belum hilang kini semakin bertambah. Kenapa Zein memanggilku? Jika dia masih mengajakku berbicara, bisa-bisa aku tidak dapat melancarkan rencanaku.

Kuhembuskan napasku, kemudian meresponnya. “Ada apa, Zein ?”

Ketika kutanyai seperti itu, dia tidak langsung menjawab. Malahan tiba-tiba Zein menundukan kepalanya. Hening pun terasakan oleh kami berdua. Bahkan, aku tersadar ada jam dinding di ruang tamu karena satu-satunya yang memecah keheningan di sini hanyalah jarum detik dari jam itu.

Zein menghela napas, kemudian menatapku dengan serius. “Apa kau membenciku?”

“K-Kenapa kamu bertanya begitu ?” Aku terkejut bukan main saat mendengar apa yang baru saja dikatakan anak laki-laki dihadapanku ini.

Lagi-lagi Zein tidak langsung menjawab pertanyaanku. Raut wajahnya yang nampak ragu itu membuatnya memalingkan pandangan dariku. Jakun pada lehernya bergerak ke atas, kemudian turun kembali ke asalnya.

Kuurungkan kembali niatku tadi, aku tidak ingin pulang sebelum Zein mengatakan alasan mengapa dia bisa berpikir kalau aku membencinya. Karena merasakan telapak tanganku yang perlahan menjadi basah, kuremas bagian ujung rokku untuk menyembunyikannya. Aku tak ingin mengalah dari kegugupanku sendiri.

Seandainya kamu tahu, Zein. Apa yang sedang kamu tanyakan itu, justru sebaliknya. Aku sama sekali tidak pernah membencimu. Setiap hari aku berpikir, bagaimana caranya agar selalu bisa bersamamu. Bagaimana caranya agar aku bisa selalu melihat senyumanmu. Bahkan ucapan “selamat telah lolos ke tingkat provinsi” yang sejak kemarin belum sempat kuberikan, aku sangat ingin mengucapkannya untukmu.

Zein yang sedang terduduk di sofa itu, keningnya mulai berkeringat. Aku tidak tahu, apakah itu karena demamnya atau gugup karena kedua mataku yang sejak tadi sama sekali tidak teralihkan darinya. Disaat itulah dia mempererat selimutnya, kemudian menghela napas.

“K-Karena …sepertinya belakangan ini kau selalu menghindariku.”

“Eh?”

Ternyata begitu. Bukan aku saja yang merasa kesepian karena kami sudah jarang bertemu. Zein juga merasakannya. Bahkan, sampai mengira aku membencinya karena diriku selalu malu saat melihat dia.

“Itu tidak benar.”

Mendengar suaraku itu, Zein menoleh dengan perlahan. Aku yang sedang berdiri, membuatnya harus mendongak untuk menatapku. Saat kedua mata kami saling bertemu, sangat jelas sekali bagaimana wajahnya yang nampak terbelalak saat melihatku.

Entah seperti bagaimana ekspresi wajahku saat ini. Mungkin saja sedang tersenyum dengan sangat lembut, karena tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang sangat nyaman dalam diriku.

Tiba-tiba jadi ingin tertawa, namun aku berusaha menahannya. Tapi apa boleh buat, pada akhirnya aku tidak mampu lagi untuk melakukan itu. Sehingga membuatku menghembuskan napas lebih kuat dari biasanya.

“K-Kenapa malah tertawa?” Ujar Zein dengan kesal dan membuat dia memalingkan wajahnya lagi. “Memangnya apa yang lucu?”

Rasanya sudah lama sekali tidak melihat Zein kesal seperti itu. Akupun kembali duduk di sofa tadi, kemudian memandang anak laki-laki itu sambil memangku daguku.

Padahal dulu kamu selalu mencariku. Tapi sekarang, sepertinya masih sama saja. Kamu sama sekali tidak berubah, ya, Zein.

Suasana hening terasakan kembali diantara kami. Tapi sekarang berbeda, aku tidak merasa gugup lagi. Bahkan, aku tidak keberatan sama sekali jika satu-satunya yang mengisi kekosongan di ruangan ini adalah bunyi jarum detik dari jam dinding yang tidak pernah berhenti itu.

Zein memperbaiki duduknya, kemudian berpura-pura batuk.

“Omong-omong ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Dengan dagu yang masih kupangku, aku menjawab. “Ya, apa itu?”

Zein menggaruk-garuk kepalanya, seperti sedang berpikir apakah benar-benar ingin bicara padaku atau tidak. Kemudian dia menghela napas yang cukup panjang sebelum akhirnya menatapku.

“Bisakah kau membantuku agar bisa akrab dengan Bella?”

“Hah?”

Akrab? Aku tidak mengerti apa yang baru saja Zein katakan. Bukankah kita bertiga memang sudah akrab? Selain sudah jarang berkumpul, kurasa tidak ada hal lain lagi yang menjadi masalah diantara kami.

“M-Maksudku, aku ingin mengenal Bella lebih dekat lagi.” Zein melirikkan matanya ke samping untuk beberapa saat, lalu kembali menatapku.

“Karena kau teman sebangkunya, jadi kupikir kau bisa membantuku.”

Lagi-lagi Zein membuatku bingung. Mengapa aku harus membantunya? Dia mulai membuatku kesal, bisakah dia tidak terus mengatakan sesuatu dengan ambigu? Karena itu membuat maksudnya sulit untuk dipahami. Kuangkat dagu dari telapak tanganku.

“Zein, aku sama sekali mengerti apa maksudmu?”

Saat kukatakan itu, Zein menghembuskan napas yang lebih terdengar seperti mengeluh. Dia kembali menggaruk-garuk kepalanya, nampak sangat kebingunan harus menjelaskan maksud yang dibicarakan kepadaku seperti apa. Bahkan sampai memukul-mukul pelan lututnya.

Anak laki-laki itu menghirup napas yang sangat dalam, seperti seseorang yang sedang mengumpulkan keberanian untuk melakukan hal yang krusial. Dengan kedua mata yang menatapku, dia berkata.

“M-Maksudku …aku suka Bella.”

Kata-kata Zein terdengar dengan sangat jelas. Itu bukanlah kiasan, tidak ada maskud lain dari apa yang dia katakan.

Kata-kata Zein akan membekas dalam ingatanku. Bahkan jika kata-kata itu masuk melalui telinga kananku, lalu keluar dari telinga kiriku. Aku yakin, kata-kata Zein pasti akan tetap kuingat.

Kata-kata Zein membuat jantungku berdebar-debar. Tiba-tiba dadaku terasa sesak, tengorokanku seperti menyempit. Entah kenapa suhu di sini jadi agak panas dan membuat keningku mulai berkeringat.

Tanpa kusadari, kedua telapak tanganku menghantam meja cukup keras. Bahkan sampai membuat Zein hampir melompat dari duduknya.

“KAMU SUKA BELLA?!” Suaraku memenuhi ruangan ini dalam sekejap.

“SSSST! SSSST!” Zein dengan spontan berdiri, menyuruhku diam dengan telunjuk yang ditaruh di depan mulutnya.

“Kenapa kau berteriak begitu? Bisa-bisa Ibuku dengar, tahu!”

Dengan napas yang sulit kukendalikan, kutelan ludahku. Kemudian memberanikan diriku untuk bertanya. “K-kenapa?”

Mendengar itu, Zein memalingkan wajahnya dariku.

“Tahu, kan? aku sering ada bimbingan persiapan lomba setiap pulang sekolah dan Bella juga sering latihan diwaktu yang sama. Kadang aku bertemu dengannya dan aku mulai tertarik dengannya.”

Begitu, ya. Seperti ada jarak diantara kami, ternyata selama ini cuma diriku saja yang berpikiran seperti itu. Bahkan setelah menghabiskan waktu cukup lama, ternyata masih ada saja bagian yang tidak kuketahui dari mereka berdua.

Harusnya aku melakukan semua sesuai rencana awalku. Jika langsung pulang, aku pasti sudah bersantai dirumahku sekarang. Jika langsung pulang, pasti aku tidak akan mendengar semua itu. Jika langsung pulang, aku tidak akan merasa sesakit ini. Mungkin ini saatnya menjalankan rencanaku yang dari tadi tertunda.

“M-Maaf… ada yang harus kulakukan, jadi…”

Tenggorokanku yang terasa tidak menyisakan ruang, membuat suaraku terdengar bergelombang. Bahkan sampai membuatku sampai kesulitan untuk menyelesaikan kalimatku.

Perlahan aku merasakan panas pada kedua mataku. Entah kenapa ini sangat sulit ditahan. Jadi kuputuskan untuk beranjak saja dari tempatku berdiri untuk menemui Ibu Zein.

Kulangkahkan kakiku untuk meninggalkan ruang tamu. Namun, aku berhenti begitu merasakan ada yang menggenggam lenganku.

“A-Apa kau mau melapor pada Ibuku?” Itulah yang Zein katakan saat dia menghentikanku.

Mendengar dia yang berbicara seperti itu membuatku semakin kesal. Sehingga kugerakkan lenganku dengan kencang untuk melepaskan diri dari genggamannya. Lalu aku menoleh pada anak laki-laki itu.

“Aku ingin berpamitan dengan Ibumu. Bukan melapor.”

Saat kukatakan itu, bisa kulihat dengan jelas ekspresi Zein yang sedang terkejut. Kupikir aku tahu kenapa. Selain suaraku yang semakin terdengar bergelombang, bisa kurasakan dari ekor mataku ada yang mengalir ke pipi kananku. Ah, gawat. Menangis di hadapan Zein adalah sesuatu yang paling tidak ingin kulakukan.

Kuusap air mataku, kemudian meninnggalkan Zein begitu saja. Saat berjalan, bisa kurasakan hidungku yang perlahan menjadi tersumbat, sehingga membuatku harus menarik napas lebih dalam dari biasanya.

Tibalah aku di dapur dan kulihat Ibu Zein sedang menyiapkan dua cangkir, mungkin saja Beliau ingin membuatkan teh untuk kami. Sayangnya aku sedang tidak bisa mencicipi itu sekarang. Sehingga aku menghampiri Ibu Zein.

Beliau sempat merasa khawatir karena melihatku yang berbicara dengan terisak-isak. Namun aku berusaha keras menyakinkannya bahwa ini bukan apa-apa.

Setelah berpamitan, aku bergegas menuju rumahku. Sudah tidak ada apapun lagi yang aku pikirkan. Satu-satunya yang ingin kulakukan saat ini hanyalah segera pulang. Karena itulah kupercepat langkahku dan dalam sekejap saja aku sudah tiba di depan pintu rumah.

Begitu masuk ke dalam, aku langsung menuju ke kamar. Kuhempaskan tubuhku ke ranjang, lalu kupendam wajahku ke bantal. Disaat itulah kulepaskan semua yang sejak tadi menyesakkan dadaku.

Aku berteriak sekencang-sekencangnya, namun bantal yang menutupi wajah meredam suaraku. Bisa kurasakan, semakin aku berteriak, maka semakin menyempit tenggorokanku. Bahkan air mata yang dengan susah payah kutahan sejak tadi, kubiarkan mengalir begitu saja. Aku sama sekali tidak tahu kapan ini akan berhenti.

Untung saja kedua orang tuaku belum pulang. Sehingga aku bisa melakukan semua ini dengan leluasa. Entah apa yang akan orang tuaku katakan jika melihat putri mereka sedang menangis di dalam kamar karena patah hati.

Tanpa kusadari, sinar matahari sore yang menembus gorden kamarku telah berubah menjadi cahaya remang-remang. Namun aku masih belum berhenti menangis.

Entah kenapa aku merasa kalau ini begitu tidak adil. Aku benar-benar telah tertinggal. Aku sama sekali tidak pernah keberatan dengan gadis-gadis yang menghampiriku dan bertanya “Apa Zein sudah punya pacar?” Tapi mendengar langsung darinya itu rasanya berbeda sekali.

Padahal sejak dulu, kamu tidak pernah memberitahu siapa orang yang kamu sukai. Sekarang, untuk pertama kalinya kamu memberitahuku. Tapi, nama yang kamu sebut… kenapa bukan namaku? Padahal sejak dulu, aku telah menyukaimu, Zein. Tapi sekarang, kenapa gadis lainlah yang mengetuk pintu hatimu ?

Keesokan harinya, aku berangkat lebih awal dari murid lain. Selain karena piket hari ini, aku berniat untuk mengerjakan tugas yang tidak sempat kukerjakan.

Pagi ini suhunya lebih dingin dari biasanya, bisa kurasakan dari bagaimana udara di sekitar yang terasa sangat menggigit. Kalau tahu begini, mending tadi aku pakai sweater.

Sesampainya di kelas, aku langsung mengambil sapu dan membersihkan baris paling dekat pintu. Kubiarkan barisan sisanya untuk dibersihkan murid lain yang juga piket hari ini.

Mengingat tugas yang harus dikerjakan cukup banyak, sehingga aku mempercepat gerakan sapuku. Semua debu kukumpulkan di depan pintu, kemudian kuhempas keluar.

“Aduh.” Terdengar suara dari luar.

Ternyata debu-debu tadi mengenai kaki seorang murid yang hendak masuk.

“Ah, m-maafkan aku…”

Kata-kataku terhenti, saat aku melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu kelas.

“Tidak apa-ap…” Orang yang berada dihadapanku juga tidak menyelesaikan kata-katanya.

Tentu saja kami berdua terkejut. Bukan karena sepatunya yang menjadi kotor. Bukan karena waktu untuk mengerjakan tugasku terpotong. Tapi karena “dia” yang sedang berada di depan kedua mataku.

“Z-Zein? Kamu sudah sembuh?” Aku masih sulit mempercayai kalau yang berada di depanku ini adalah anak laki-laki itu.

“Y-Yah, begitulah. Aku sudah merasa lebih baik sekarang, jadi…” Kata Zein, sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Padahal kamu baru sembuh, tapi sudah berangkat sekolah sepagi ini. Yah, itu memang kebiasaanmu sejak menjadi ketua kelas, sih.

Kupejamkan mata sesaat untuk menarik napas, karena suasana canggung ini benar-benar mengganggu. Tapi kalau dipikir lagi, suasana ini tercipta karena ulahku kemarin, mungkin aku harus meminta maaf.

“Soal kemarin, m-maafkan aku. Padahal kamu sedang sakit tapi aku malah…”

“T-Tidak apa-apa, Friska. Tidak perlu mengkhawatirkanku.” Dia melambai-lambaikan tangannya saat memotong kata-kataku.

Setelah berpura-pura batuk, Zein berbicara kembali. “Omong-omong, apa kau semalam menangis?”

“Hah?”

Apa suaraku terdengar sampai ke rumah Zein? Padahal orang tuaku tidak menanyanakannya, karena itu kupikir suaraku sama sekali tidak terdengar. Jadi, bagaimana dia tahu?

“S-Soalnya…” Zein menunjuk bagian bawah matanya. “Soalnya kantung matamu terlihat lebam.”

“HAH? APA KATAMU?!”

“M-Maaf, maafkan aku. Harusnya aku tidak bertanya begitu.”

Dengan kedua tangan, Zein melindungi kepalanya saat melihatku tiba-tiba mengangkat sapu untuk bersiap memukulnya. Memang benar aku tadi buru-buru, sehingga tidak sempat memeperhatikan penampilanku, tapi apa benar-benar senampak itu?

“Juga untuk yang kemarin, maafkan aku.” Zein mengatakan itu dengan wajah yang masih tetap ditutup.

“Hah?” Jujur saja itu membuatku terkejut.

Dia yang meminta maaf, sama sekali tidak pernah kupikirkan akan terjadi. Kuturunkan sapu yang kupegang untuk mendengar perkataan Zein lebih lanjut.

Wajahnya sudah tidak lagi disembunyikan. “S-Sebenarnya aku tidak begitu paham. Tapi kupikir kemarin itu adalah salahku, jadi aku minta maaf.”

“Hah?”

Dia semakin membuatku kesal. Bagaimana mungkin dia meminta maaf untuk hal yang dia tidak ketahui?

Zein, apa kamu tahu, kenapa kemarin aku kabur darimu? Apa kamu tahu, kenapa aku menangis semalaman hingga melupakan tugas sekolahku? Apa kamu tahu, kenapa aku begitu patah hati?

Itu karena aku menyukaimu. Tapi kamu pasti tidak akan pernah tahu sampai aku memberitahumu, bukan? Dasar tidak peka. Kamu bisa mengerti segala sesuatu yang berkaitan dengan Undang-Undang, kenapa tidak bisa menyadari hal sesederhana itu?

Tapi aku tidak akan marah. Karena aku telah mengenalmu dan kamu memang selalu seperti itu.

Aku tahu semua yang kamu sukai. Aku tahu semua yang kamu tidak sukai juga. Karena aku adalah teman masa kecilmu. Aku telah berada di sampingmu sangat lama dan sampai sekarang kamu masih tidak berubah.

Kuhela napas dan menatap Zein yang sejak tadi memalingkan wajahnya sambil menggaruk-garuk kepalanya. Aku mulai berpikir, sepertinya aku harus mengatakannya.

“Baiklah, aku akan mendukungmu.”

“A-Apa?” Zein menoleh saat mendengar ucapanku.

Kuhembuskan napas kesal melihat dia yang seperti itu.

“Aku tadi mengatakan, aku akan mendukungmu.”

Nampak sangat jelas ekspresi Zein yang tidak percaya.

“B-Benarkah ?”

“Kamu sebaiknya serius atau aku akan benar-benar marah padamu kalau terjadi sesuatu yang salah dengan Bella.”

Setelah mengatakan itu, kupalingkan tubuhku dan berjalan ke belakang untuk mengambil serokan. Membersihkan debu yang mengenai Zein tadi sepertinya akan lebih mudah kalau menggunakan itu.

“Jujur saja aku tidak menyangka kau akan mengatakan itu, Friska. Entah kenapa aku berpikir kau akan sangat marah padaku atau semacamnya.” Kata Zein, sambil menepuk-nepuk sepatunya. “Terima kasih, Friska.”

Zein terdengar sangat bersemangat. Suaranya tidak lagi seperti Zein yang pucat kemarin. Mungkin dia memang benar-benar sudah sembuh.

“Memangnya kamu pikir aku ini orang seperti apa?” Gumamku yang agak kesal karena perkataannya.

Ketika mengambil serokan, aku teringat sesuatu. Sehingga aku menengok pada Zein.

“Oh, iya. Omong-omong, selamat telah lolos ke tingkat provinsi.”

Sebenarnya mendengar Zein yang berantusias karena kudukung, rasanya aku jadi ingin menangis. Namun, aku tidak bisa menyalahkannya. Karena akulah yang selama ini bersembunyi. Lagipula Bella adalah teman baikku dan aku yakin mereka berdua akan cocok jika bersama. Karena itulah aku akan mendukungnya.

Meski begitu, bukan berarti aku kan menyerah begitu saja. Selama Zein masih tetaplah Zein yang dulu, aku akan mendukungnya. Selama Zein masih tetap Zein yang sama, aku akan berada di sampingnya. Jika Zein masih belum menyadari perasaanku, aku hanya tinggal berusaha membuatnya sadar, bukan?

Zein, padahal sejak dulu aku menyukaimu. Tapi sekarang, sepertinya masih begitu.

 

One thought on “Matematika Berkarya – Dulu

  1. Embark Studios’ cooperative third-person shooter ARC Raiders has changed a lot since it was announced. Executive producer Aleksander Grøndal revealed in a new Medium post that the team decided to add PvP mechanics to the game over the past year. Moreover, the game now has new mechanics and survival elements in the style of Escape From Tarkov.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top