Matematika Berkarya - Kisah Raana Ayasha

Matematika Berkarya – Kisah Raana Ayasha

Kisah Raana Ayasha

Karya: Nafisah

 

Hari minggu ini, aku duduk di depan bangunan besar nan megah, ditemani segelas kopi dan cemilan ringan. Huft… Rasanya aku begitu tenang kala melihat langit yang berwarna biru cerah, dan lihatlah burung-burung beterbangan begitu bebasnya. Suasana sesak yang biasa kurasakan di setiap harinya, kini bisa kuhempas. Kata orang, nikmati hari liburmu dan masa mudamu.

Dan yah… Tepat di hari minggu ini, usiaku tepat duapuluh lima tahun, jangan ditanya apakah orang-orang di sekelilingku banyak meneror tentang kapan aku menikah? Apa kamu tidak takut jadi perawan tua? Ah masih banyak sekali pertanyaan sejenis itu, tapi aku tak pernah menggubris mereka toh hidup bukan untuk mereka, tapi hidup untuk diriku sendiri.

Kulangkahkan kaki menuju MRT, melihat-lihat sekitar, seketika rasa rindu itu kembali menjelajahi hatiku. Setelah tujuh tahun aku bertandang ke negeri orang tak membuatku lupa akan negeri asalku.

Duduk di kursi nomor lima belas, tepat di samping jendela. Entah mengapa setiap aku naik kereta, aku selalu suka duduk di samping jendela. Melepas tas ranselku dari punggungku untuk ditaruh di bawah kursi duduk, lalu meletakkan koperku di tempat yang disediakan.

Kereta akan segera berjalan tapi disamping kursiku masih kosong. Kupikir memang tidak ada orang yang menempatinya, ternyata salah. Seorang lelaki berkulit putih terlihat kelelahan, napasnya terengah-engah, keringat sudah membasahi pelipisnya. Lelaki itu segera duduk setelah ia melihat bahwa kursi yang didepannya adalah kursinya.

Aku masih melihat lelaki itu tetapi ia tidak menyadarinya. Pandanganku beralih ke tas ranselku yang ada di bawah kursi, kuingat aku masih memiliki satu botol air mineral yang masih tersegel. Segera ku cek dan benar aku masih memiliki persediaan air mineral. Kuambil botol air mineral itu lalu kuberikan pada lelaki itu.

“Maaf?” Ujar lelaki itu saat melihatku mengulurkan sebotol air mineral untuk dirinya.

“Untuk anda, mungkin anda haus,” kataku sembari tersenyum tipis.

“Ouh… Terima kasih,” ujarnya lalu mengambil sebotol air mineral itu hingga ditenggak habis olehnya.

Aku kembali menghadap jendela, bersiap untuk melihat pemandangan yang sangat indah, sungguh ya nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan.

Kereta mulai berjalan, kuposisikan tubuhku senyaman mungkin karena perjalanan kali ini menghabiskan waktu lima jam lamanya, terbilang lama bukan.

Kuambil headset dari dalam tasku lalu kupasangkan di kedua telingaku, menyetel lagu Tulus. Menurutku, Tulus tak pernah gagal dalam menciptakan lagu, sungguh sangat terdengar sopan di pendengaranku.

Bicara tentang lelaki disampingku, aku tak tahu sedang apa dia sekarang karena aku tak meliriknya sama sekali setelah drama botol air mineral.

Menikmati pemandangan indah rupanya tak sepenuhnya menghapus kegugupan. Kembali ke negeri asal artinya kita akan melihat orang-orang lama, orang-orang yang pernah ada dalam pikiran kita, orang-orang yang pernah menorehkan warna pada kita, orang-orang yang pernah melukai hati kita.

Tujuh tahun rupanya tak cukup bagiku untuk menghapus masa lalu, karena kenyataannya, sejauh kita melangkah, masa lalu akan selalu hadir di barisan paling belakang, meskipun di barisan paling belakang ia tak pernah hilang atau lenyap, kehadirannya sangat berkesan, entah kesan yang baik ataupun buruk.

Selama lima jam perjalanan cukup membuat tubuhku remuk. Saat aku akan turun dari kereta, lelaki di sampingku kini membuat ulah kembali. Ia sedang tertidur pulas, seketika jiwa kemanusiaanku menjadi aktif, aku tak bisa meninggalkannya sendirian di dalam kereta begitu saja mengingat orang-orang sudah banyak yang keluar dari kereta.

“Tuan!” Ujarku sedikit keras, tapi tak membuatnya bangun. Kutepuk pelan lengannya, katakanlah aku lancang, tapi bagaimana lagi, aku sudah meneriakinya lima kali tapi tak kunjung membuatnya bangun.

Kulihat tidur lelaki itu mulai terusik hingga kedua matanya terbuka sedikit, ia mengucek kedua matanya.

“Maaf?” Tanyanya sekali lagi saat ia melihat jarakku dengannya cukup dekat.  Merasa tersadar akan hal itu, kujauhkan tubuhku darinya.

“Kereta sudah berhenti lima belas menit lalu dan anda masih tertidur,” kataku.

“Oh maaf, jadi saya membuat anda terpaksa membangunkan saya ya?” Aku tersenyum tipis lalu menggelengkan kepala.

“Tidak, kalau bagitu saya permisi”

Aku melenggang pergi setelah berpamitan dengannya, kuambil napas sedalam mungkin saat aku keluar dari kereta. Melihat sekitar, mencari seseorang yang katanya akan menyambut kedatanganku, padahal aku sudah melarangnya keras tapi tetap saja keras kepalanya mengalahkanku. Dan ya, seorang wanita paruh baya berpakaian biru tua dengan jarik cokelat kesayangannya sedang duduk di kursi pojok, wanita paruh baya itu terlihat mengedarkan pandangannya.

Saat pandanganku dan pandangannya bertemu, wanita paruh baya itu tersenyum lebar. Ah aku sangat merindukan senyuman manis itu, air mataku seketika mengalir begitu saja. Kulihat beliau berjalan mendekatiku, pandangannya pun tak lepas dariku. Segera kudekatinya, mendekapnya begitu kuatnya.

“Buk…” Tangisku pecah dibalik punggung nan renta itu.

“Ayasha” panggilnya sembari mengelus punggung kecilku.

Thanks God, sudah menjaga pahlawanku saat putri kecilnya memilih mencari ilmu di negeri orang. Kami berdua saling melepaskan kerinduan di tengah ramainya stasiun.

***

Saat kuputuskan untuk kembali ke negeri asalku, aku sudah siap menahan konsekuensi, menghadapi masa lalu, setelah tujuh tahun silam.

Saat kita dipertemukan kembali artinya Tuhan ingin kita bersama

Mustahil rasanya jika tinggal dalam satu desa tetapi tak saling berjumpa. Ibuk mengajakku berkeliling desa, kata beliau, beliau ingin memperkenalkan putrinya ke tetangga-tetangganya, sontak aku mengangguk menerima ajakannya meskipun dalam hati agak sedikit menolak.

Tepat di balik rumah cokelat muda, aku dan ibuk berhenti. Kupandangi lama rumah itu, bayang-bayang masa lalu kembali hadir dengan tidak sopannya. Ibuk mengelus punggung tanganku, beliau terlihat merasa bersalah telah mengajakku melewati rumah cokelat itu.

“Kenapa buk?” Tanyaku saat melihat kedua mata ibuk berkaca-kaca.

“Mau lihat Raana?” Tanyanya balik membuatku menegang. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam, bagaimana bisa aku akan bertemu dengan seseorang yang membuat kapal kepercayaanku karam begitu saja.

“Ayo!” Ajak ibuk padaku. Bukannya berjalan ke arah rumah cokelat muda, ibuk mengajakku ke tempat lain. Aku mengernyit keheranan saat ibuku berhenti di depan pusara. “Buk, jangan bercanda!” Tegasku tapi hanya dibalas tatapan sendu darinya. Kulihat pusara itu bertuliskan Raana Anindya. Ku terduduk lemah disamping pusara itu, meratapi penyesalan, dengan bodohnya, aku tak tahu kabar duka itu.

Hai Ayasha, kukira dengan pilihan kita berdua, kita akan bahagia, tapi faktanya tidak, Tuhan marah Sha, kamu juga marah hingga membuatmu pergi ke negeri orang. Dan jangan salahkan ibu kamu, jika aku diam-diam sering bertanya tentang keadaanmu disana. Huft, aku sungguh sangat merindukanmu dan sepertinya kita tak diizinkan tuk bersama lagi Sha.

Dengan cinta, Raana Anindya.

Aku meringis kala kubaca surat yang terlihat sudah lusuh, kata ibuk, surat itu diberikan oleh tangan kecil Raana lima tahun lalu. Rupanya, sedikit bumbu kesalahpahaman cukup membuat dua manusia hancur dan retak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top